Branding
adalah proses penciptaan atau peninggalan tanda jejak tertentu di benak dan
hati konsumen melalui berbagai macam cara dan strategi komunikasi sehingga
tercipta makna dan perasaan khusus yang memberikan dampak bagi kehidupan
konsumen (Wijaya, 2011; 2012; 2013). Branding merupakan implementasi dari
strategi komunikasi merek dan merupakan bagian dari proses pengembangan (nilai)
merek.
Pemerekan
berasal dari kata dasar 'merek' (brand). American Marketing Association (AMA)
mendefinisikan merek sebagai “a name, term, sign, symbol, or design, or a
combination of them, intended to identify the goods and services of one seller
or group of sellers and to differentiate them from those of competitors”
(Kottler, 2000: 404)[2]. Hal ini senada dengan yang dikatakan Aaker bahwa merek
adalah nama dan/ atau simbol yang sifatnya membedakan (berupa logo atau simbol,
cap atau kemasan) untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual
atau kelompok penjual (Aaker, 1996). Merek merupakan frontliner sebuah produk,
suatu tampilan awal yang memudahkan konsumen mengenali produk tersebut. Pada
prinsipnya merek merupakan janji penjual atau produsen yang secara kontinyu
membawa serangkaian kesatuan tampilan (performance), manfaat (benefit) dan layanan
(service) kepada pembeli. Dalam perspektif komunikasi merek, Wijaya (2011;
2012; 2013) mendefinisikan merek sebagai tanda jejak yang tertinggal pada
pikiran dan hati konsumen, yang menciptakan makna dan perasaan tertentu (brand
is a mark left on the minds and hearts of consumers, which creates a specific sense
of meaning and feeling). Dengan demikian, merek lebih dari sekadar logo, nama,
simbol, merek dagang, atau sebutan yang melekat pada sebuah produk. Merek adalah
sebuah janji (Morel, 2003). Merek merupakan sebuah hubungan (McNally &
Speak, 2004)[5] –yakni hubungan yang melibatkan sejenis kepercayaan. Sebuah
merek adalah jumlah dari suatu entitas, sebuah koneksi psikis yang menciptakan
sebuah ikatan kesetiaan dengan seorang pembeli/ calon pembeli, dan hal tersebut
meliputi nilai tambah yang dipersepsikan (Post, 2005)[6]. Nilson (1998)[7]
menyebutkan sejumlah kriteria untuk menyebut merek bukan sekadar sebuah nama,
di antaranya: merek tersebut harus memiliki nilai-nilai yang jelas, dapat diidentifikasi
perbedaannya dengan merek lain, menarik, serta memiliki identitas yang
menonjol.
Dalam
perspektif komunikasi merek, proses pemerekan (branding) memiliki
tingkatan-tingkatan tertentu yang sekaligus mengindikasikan sejauh mana
perkembangan merek dalam hubungannya dengan kedekatan terhadap konsumen.
Tingkatan ini disebut Hierarchy of Branding (Wijaya, 2011; 2012; 2013), mulai
dari brand awareness (kesadaran terhadap merek), brand knowledge (pengetahuan
tentang merek), brand image (citra merek), brand experience (pengalaman terkait
merek), brand loyalty (kesetiaan terhadap merek) hingga brand spirituality
(dimensi spiritualitas terkait merek).
0 komentar:
Posting Komentar